BAB
I
A. Latar
Belakang
Positivisme
itu adalah suatu paham falsafati dalam alur tradisi pemikiran saintisme yang
mengedepan sejak abad-abad 16-17. Apa yang kemudian disebut saintisme (<science<scire=pengetahuan)
ini pertama-tama marak di kalangan para ahli astronomi dan fisika, yang
kemudian juga di berbagai cabang ilmu pengetahuan yang lain, bahkan juga yang
berkonsentrasi di bidang persoalan kemasyarakatan dan hukum. Sebagaimana
tradisi pemikiran yang berparadigma Galilean, yang menjadi cikal-bakal scientism,
positivisme juga bertolak dari anggapan aksionatik bahwa alam semesta ini pada
hakikatnya adalah suatu himpunan fenomen yang berhubung-hubungan secara
interaktif dalam suatu jaringan kausalitas yang sekalipun dinamik namun juga
deterministik dan mekanistik.
Di
sini fenomen yang satu akan selalu dapat dijelaskan sebagai penyebab atau
akibat dari fenomen yang lain.Hubungan sebab-akibat seperti ini dikatakan
berlangsung tanpa henti dan tanpa mengenal titik henti di tengah suatu alam
objektif yang indrawi, tersimak sebagai kejadian-kejadian yang faktual dan
actual, lepas dari kehendak subjektif sesiapapun. Dikatakanlah bahwa hubungan
kausalitas antar-fenomen itu dikuasai oleh suatu imperativa alami yang berlaku
universal, dan yang oleh sebab itu dapat saja berulang atau diulang, di manapun
dan kapanpun asal saja syarat atau kondisinya tak berbeda atau tak berubah (ceteris
paribus!). Asal saja fenomen peneyebabnya diketahui, dan kondisi tak
berubah, maka terulangnya kasus akan selalu dapat saja diprakirakan atau bahkan
diramalkan.
b.
Rumusan Masalah
1. apakah pengertian positivisme
itu?
2. bagaimanakah sejarah perkembangan
positivism itu?
3.bagaimanakah berfikir positivisme
pada era sekarang itu?
4. seperti apakah berfikir
positivisme logis?
BAB
II
KAJIAN
TEORI
1. PENGERTIAN POSITIVISME
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan
yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran
ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada
dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam ( natural laws ). Upaya
penelitian, dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang
ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.
Positivisme muncul pada abad ke -19 dimotori oleh
sosiolog august comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari 6 jilid dengan
judul the course of positive philosophy (1830-1842). Comte menguraikan secara
garis besar prinsip-prinsip positivisme yang hingga kini masih banyak
digunakan. John stuart mill dari inggris (1983) memodifikasi dan mengembangkan
pemikiran comte dalam sebuah karya yang cukup monumental berjudul a system of
logic. Sedangkan Emile Durkheim (
sosiolog prancis) kemudian menguraikannya dalam Rules Of sociological method
(1895), yang kemudian menjadi rujukan bagi para peneliti ilmu social yang
beraliran positivisme.[1]
Sejarah
pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant
(1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah
diuji melalui percobaan. Sementara Kant adalah orang melaksanakan pendapat Hume
ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni).
Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan
aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan
pengalaman sebagai porosnya. [2]
Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang
filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang banyak mengikuti warisan pemikiran
Hume dan Kant. Melalui tulisan dan pemikirannya, Comte bermaksud memberi
peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada
perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju
fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis diyakini adanya
kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam
ini.
Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme,
politeisme dan monoteisme. Selanjutnya pada zaman metafisis kuasa adikodrati
tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan
‘penyebab’. Dan akhirnya pada masa positif manusia telah membatasi diri pada
fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar
observasi dan kemampuan rasio.[3]
Semasa dengan
Comte ini muncul pula John Stuart Mill (1803-1873)—filsuf logika berkebangsaan
Inggris—dan Herbert Spencer (1820-1903) yang dianggap sebagai tokoh penting
positivisme pada pertengahan kedua abad XIX dan dalam waktu yang bersamaan
dianggap sebagai tokoh positivisme terakhir untuk periode pertama (periode
Comte-Mill-Spencer).
Periode kedua dari perkembangan positivisme banyak
diwarnai oleh pemikiran dan pendapat filsuf Austria, Ernst Mach (1838-1916),
yang dikenal sebagai tokoh Empiriokritizimus atau kadang disebut juga dengan
Machisme. Selain Mach dikenal pula Avenarius, Person dan Henri Poincare.
Pada tahun 1922 Morits Schlick—waktu itu professor
ilmu-ilmu induktif di Universitas Vienna—mendirikan sebuah perkumpulan yang
dikenal sebagai Vienna Circle (Halaqah Vienna). Perkumpulan yang dianggap
sebagai penerus Machisme ini diikuti oleh banyak ilmuwan matematika dan fisika,
antara lain: Waismann, Neurach, H. Feigl, F. Kaufmann dan Carnap. Kajian-kajian
yang diadakan oleh perkumpulan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran
Wittgenstein, terutama melalui bukunya yang terkenal, Tractatus
Logico-Philosophicus yang terbit pertama kali pada tahun 1922 dalam bahasa
Jerman.[4]
Pada masa
Vienna Circle inilah positivisme menemukan bentuknya yang matang. Dan pada masa
ini pulalah—tepatnya tahun 1931—untuk pertama kali nama positivisme pertama
kali dipakai oleh H. Feigl. Selain positivisme sebenarnya dikenal pula dua nama
lain yang digunakan untuk menyebut sekumpulan pemikiran yang dikenal dalam kalangan
Vienna Circle ini, yaitu Empiricism dan Logical Empiricism, yang kesemuanya
mempunyai inti yang sama yaitu penolakan terhadap metafisika dengan alasan
bahwa permasalahan yang dibahas dalam metafisika adalah permasalahan yang
berada di luar batas pengalaman manusia sehingga tidak dapat dibuktikan
kebenarannya secara empiris.
Positivisme dan Asas Verifikasi (Mabda’Al-Tahqîq) Schlick
dianggap sebagai orang yang pertama kali mengenalkan asas ini—dalam kalangan
Vienna Circle—setelah melakukan diskusi yang panjang dengan Wittgenstein.
Secara implisit dalam Tractatus Wittgenstein telah menyatakan penerimaannya
terhadap asas verifikasi. Hal inilah yang membuat para pengikut positivisme
berpendapat bahwa suatu proposisi (al-qadhîyah) dianggap mempunyai arti hanya
apabila proposisi tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Ini sangat erat
kaitannya dengan Hume yang membagi proposisi ke dalam dua bagian: pertama,
proposisi logis dan matematis; dan kedua, proposisi empiris. Hanya dua jenis
proposisi inilah yang dianggap memiliki arti. Oleh karena itulah para pengikut
positivisme menolak proposisi-proposisi yang ada dalam metafisika, dengan
alasan bahwa proposisi-proposisi tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam
salah satu dari dua jenis proposisi di atas
Positivisme
muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah
karyanya yang terdiri dari 6 jilid dengan judul The Course of Positive
Philosophy (1830 – 1842 ). Comte menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip
positivisme yang hingga kini masih banyak digunakan. John Struat Mill dari
inggris (1843) memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte dalam sebuah
karya yang cukup monumental berjudul A System of logic.[5]
Positivisme
secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat
bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami
sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif
bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau
terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk
berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara
terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam ‘pencapaian
kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi.
Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.
Tokoh
aliran ini adalah August Comte (1798-1857). Pada dasarnya positivisme bukanlah
suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan
rasionalisme. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific
method) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Positivisme
mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empiris yang terukur.
“Terukur” inilah sumbangan penting positivisme. Misalnya, hal panas.
Positivisme mengatakan bahwa air mendidih adalah 100 derajat celcius, besi
mendidih 1000 derajat celcius, dan yang lainnya misalnya tentang ukuran meter,
ton, dan seterusnya. Ukuran - ukuran tadi adalah operasional, kuantitatif,
tidak memungkinkan perbedaan pendapat.
2.
SEJARAH
DAN PERKEMBANGAN POSITIVISME
Pada
dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu – satunya
pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktualfisikal. Pengetahuan
demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode
saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.
Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak
Yunani Kuno . Terminologi positivisme dicetuskan pada pertengahan abad 19 oleh
salah satu pendiri ilmu sosiologi yaitu Auguste Comte. Comte percaya bahwa
dalam alam pikiran manusia melewati tiga tahapan historis yaitu teologi,
metafisik, dan ilmiah. Dalam tahap teologi, fenomena alam dan sosial dapat
dijelaskan berdasarkan kekuatan spiritual. Pada tahap metafisik manusia akan
mencari penyebab akhir (ultimate cause) dari setiap fenomena yang
terjadi. Dalam tahapan ilmiah usaha untuk menjelaskan fenomena akan
ditinggalkan dan ilmuwan hanya akan mencari korelasi antar fenomena.
Pengembangan penting dalam paham positivisme
klasik dilakukan oleh ahli ilmu alam Ernst Mach yang mengusulkan pendekatan
teori secara fiksi (fictionalist). Teori ilmiah bermanfaat sebagai alat
untuk menghafal, tetapi perkembangan ilmu hanya terjadi bila fiksi yang
bermanfaat digantikan dengan pernyataan yang mengandung hal yang dapat
diobservasi. [6]
Meskipun
Comte dan Mach mempunyai pengaruh yang besar dalam penulisan ilmu ekonomi
(Comte mempengaruhi pemikiran J.S. Mill dan Pareto sedangkan pandangan Mach
diteruskan oleh Samuelson dan Machlup), pengaruh yang paling utama adalah ide
dalam pembentukan filosofi ilmiah pada abat 20 yang disebut logika positivisme
(logical positivism).[7]
Pengajaran
utama dalam logika positivisme dikembangkan pada tahun 1920 oleh Moritz
Schlich, Herbert Feigl, Kurt Gödel, Hans Hahn, Otto Neurath, Friedrich
Waismann, Rudolf Carnap and kelompok lain yang sering disebut Vienna Circle.
Logika positivisme menempati posisi sebagai filosofi empiris yang radikal, dan
para pendirinya percaya bahwa hal ini merupakan awal babak baru dalam
penyelidikan filosofi. Tujuan dari seluruh analisis filosofi adalah analisis
logika dari ilmu yang dinyatakan sebagai positif, atau empiris, yang merupakan
label dari logika positivisme.
Tugas
pertama bagi logika positivisme adalah mendefinisikan apa yang menjadi tuntutan
dalam penyusunan suatu ilmu pengetahuan. Hasilnya adalah untuk menganalisis
bentuk logika dari suatu pernyataan. Pernyataan yang tidak hanya analitis
(sebagai contoh: definisi) atau sintetis (pernyataan yang merupakan bukti dari
fakta) yang digolongkan sebagai nyata secara kognitif (cognitively
significant) atau bermakna. Semua pernyataan lain tidak nyata secara
kognitif bila: tidak bermakna, bersifat metafisik, dan tidak ilmiah. Analisis
filosofi yang menggunakan pernyataan seperti itu mungkin sebagai ekspresi sikap
emosi, atau sikap umum mengenai kehidupan, atau nilai moral, tetapi tidak dapat
dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan.
Untuk menjalankan
program ini, para pengikut logika positivisme membutuhkan kriteria yang
obyektif yang dapat membedakan antara pernyataan sintetis yang tidak bermakna.
Salah satu pemikiran awal untuk menjawabnya adalah mengemukakan prinsip dapat
diverifikasi (verifiability): pernyataan hanya bermakna bila dapat
diverifikasi. Sayangnya, pernyataan dalam bentuk universal (seperti: semua
burung gagak berwarna hitam), yang sering digunakan dalam ilmu pengetahuan
ternyata tidak dapat diverifikasi. Kriteria lainnya adalah dapat ditolak (falsifiability),
sedangkan Ayer berpendapat harus dapat diverifikasi meskipun lemah, Carnap
menambahkan dapat diubah bentuknya (translatability) ke dalam bahasa
empiris dan dapat dikonfirmasi (confirmability).
Tetapi,
tidak ada satupun dari kriteria tersebut yang mampu membenarkan dalam
memutuskan suatu persoalan. Dilema lain adalah adanya terminologi teori dalam
pernyataan yang dibuat oleh ilmuwan. Beberapa ilmuwan positivis mengikuti Mach
dalam mendesak untuk menghilangkan kriteria tersebut dalam dunia ilmiah, tetapi
beberapa ilmuwan lain memegang teguh pernyataan tersebut.
Program
akhir dari para ilmuwan positivis adalah menggabungkan tesis dalam ilmu
pengetahuan, yaitu semua ilmu pengetahuan dapat memanfaatkan metode yang sama.
Hahn meninggal pada tahun 1934 dan Schlick dibunuh pada tahun 1936 oleh
muridnya yang gila. Pada waktu Hitler berkuasa dan akhirnya memerangi para
intelektual menjadi penyebab utama perpecahan dalam kelompok Vienna Circle pada
tahun 1930.
Logika
positivisme mengalami modifikasi dan akhirnya digantikan selama dua dasa warsa
dengan bentuk yang lebih matang dari pengajaran para positivis yang disebut
logika empirisme (logical empiricism). Dikelompokkan melalui adanya
perbedaan dalam membuat analisis, ahli falsafah yang mempunyai sumbangan
pemikiran adalah Carnap, Ernest Nagel, Carl Hempel, dan Richard Braithwaite. [8]
Ada enam
program pengajaran utama dalam logika empirisme. Program pertama adalah
menyatukan tesis ilmu pengetahuan. Tiga program berikutnya adalah berhubungan
dengan struktur dan tafsir terhadap teori. Model hipotetik-deduktif (hypothetical-deductive)
dari struktur teori menyatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan mempergunakan
teori, yang dinyatakan dalam bentuk formal seperti aksioma, struktur dari
hipotetik-deduktif seperti itu tidak mempunyai arti empiris sampai beberapa
elemennya (biasanya kesimpulan teori atau prediksi dari teori) diberi
interpretasi empiris melalui penggunaan aturan yang sesuai. Tidak semua
pernyataan mempunyai interpretasi empiris. Yang hanya mengandung terminologi
teoritis, pada khususnya, tidak dapat diinterpretasikan.
Makna
dalam suatu pernyataan disesuaikan dengan tesis yang dapat diuji secara
langsung (indirect testability thesis) dari pernyataan tersebut.
Pernyataan seperti itu mendapat nilai nyata kognitif secara tidak langsung jika
teori yang menyertainya dapat memperkuat. Akhirnya, memperhatikan pernyataan
tentang batas dan pengkajian teori, logika empiris membentuk konfirmationisme (confirmationism)
sebagai kriteria utama dalam penafsiran teori. Teori mempunyai arti ilmiah jika
dapat diuji. Pengujian segera dapat mengesahkan atau membatalkan suatu teori.
Penerimaan suatu teori tergantung dari derajat pengesahannya.
Derajat pengesahan
diukur dari:
- suatu kuantitas dan ketelitian dari hasil pengujian yang
mendukung,
- ketelitian prosedur observasi dan pengukuran,
- bermacam-macam bukti yang mendukung, dan bahkan
- situasi uji yang mendukung hipotesis.[9]
Kriteria
non-empiris tambahan dalam penafsiran (seperti: kesederhanaan, kebagusan,
bermanfaat, berlaku umum, dapat dikembangkan) perlu diungkapkan jika teori yang
dipilih belum mempunyai dasar empiris. Dua pengajaran terakhir dari logika
empirisme membahas logika dari penjelasan ilmiah. Semua penjelasan dalam ilmu
pengetahuan harus dinyatakan dalam bentuk bukti deduktif.
Kalimat
penjelas terdiri atas kelompok kalimat, beberapa diantaranya menyatakan kondisi
awal dan salah satunya berisi pernyataan umum atau hukum statistik.
Deduktif-nomologis (deductive-nomological) mencakup model suatu hukum
dalam penjelasan ilmiah. Sebagai tambahan penganut logika empiris percaya
tentang tesis simetri; penjelasan dan prediksi merupakan hal yang simetri
secara struktur, perbedaannya hanya dalam hal waktu. Pada penjelasan, fenomena
yang dijelaskan telah terjadi, sedangkan dalam prediksi, fenomena tersebut
belum terjadi.
Ide para
ilmuwan positivis mendapat tantangan yang hebat pada pertengahan abad ke-20.
Kemungkinan tetap diterimanya model hypothetico-deductive dalam struktur
teori dan tesis pengujian tidak langsung tergantung dari kemampuan menjelaskan
perbedaan antara terminologi yang dapat diobservasi (mengacu pada dapat
diobservasi secara langsung sampai fakta tentang atom) dan terminologi yang
tidak dapat diobservasi secara teoritis. Sayangnya dalam dunia ilmiah ada
tingkatan observasi dan tidak ada batasan yang jelas antara terminologi teori
yang mengacu pada hal yang tidak dapat diobservasi dan terminologi bukan teori
yang mengacu pada hal yang dapat diobservasi. Lebih jauh lagi, karena hal yang
berhubungan dengan observasi ini bukan aktivitas yang netral tetapi memerlukan
pemilihan data dan interpretasi, maka ada yang berpendapat (dari kritik yang
disampaikan Karl Popper dan Norwood Hanson) bahwa semua observasi tergantung
dari teori.
Berdasarkan
penjelasan diatas, kegagalan memecahkan problem dalam induktif dari Hume dan
sejumlah paradoks dalam penggalian pengesahan ilmu pengetahuan maka ilmuwan
berusaha membangun pengesahan secara logis induktif. Bahkan Popper menantang
untuk membuat pernyataan yang layak yang mempunyai probabilitas induktif yang
tinggi. Pada akhirnya, banyak penjelasan dalam bermacam-macam ilmu pengetahuan
tidak dapat memenuhi dua model hukum penjelasan ilmiah tersebut.
3. Positivisme Pada Era sekarang
Pengaruh
positivisme dalam filosofi ilmiah menurun tajam mulai tahun 1960 sampai
tahuan 1970. Tidak ada penerus yang dapat mengisi kekurangan dalam filosofi positivisme.
Beberapa bentuk ajaran Popper nampaknya mampu untuk mengisi kekurangan
ini. Karl Popper yang mengkritik induktivisme dan konfirmationisme, bapak
dari falsifikasionisme dan rasionalisme kritis ini mempunyai cukup banyak pandangan
dan pengaruh pada ahli filsafat generasi berikutnya. Mulai dari J. Agassi sampai
Elie Zahar, dan termasuk beberapa pemikir seperti W.W. Bartley, P.K. Feyerabend,
Noretta, Koertge, Imre Lakatos dan J.W.N. Watkins yang semua ahli filsafat
tersebut mempunyai kritik atau pendapat yang dapat membuat pemikiran Popper
terus berkembang. [10]
Pemikir
lainnya adalah Thomas Kuhn yang telah berjasa dalam pengembangan ilmu
pengetahuan normal dan revolusioner, paradigma dan matriks disiplin, serta
pengembangan dalam analisis sosiologi yang menitikberatkan pada norma dan nilai
ilmiah. Versi radikal dari pendekatan Kuhn adalah dalam ilmu sosiologi yang sekarang
dikembangkan oleh grup sarjana dari Universitas Edinburgh, termasuk Barry
Barnes dan David Bloor. Grup lain yang turut mengembangkan adalah Joseph Sneed
dan Wolfgang Stegmuller dari sekolah strukturalis serta Ricahard Rorty dalam
pengembangan pragmatis baru. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti
apakah pengembangan positivisme akan menjadi satu doktrin atau pandangan lain
yang lebih sederhana dalam dunia ilmiah.
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam
segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan
apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak
ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan
positivisme, yaitu:[11]
1.
Tempat utama dalam
positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga
diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika
yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P.
Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2.
Munculnya tahap kedua
dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach
dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek
nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme,
masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim,
yang bergabung dengan subyektivisme.
3.
Perkembangan positivisme
tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath,
Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh
pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin.
Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis,
positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini
diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan
lain-lain.
4.
Positivisme Logis
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa
sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang
tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi
pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada
analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini
mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan
dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan
pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris. Tujuan
akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk
mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal
dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara
ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu
formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan
tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah
korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi
penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi
faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai
arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa
observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Tokoh-tokoh Positivisme : [12]
1.
Auguste Comte dan
Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu
positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana
metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum
sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris
dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint
Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk
memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang
menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga
merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode
feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang
mendasari masyarakat industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of
Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi
filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang
semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan.
Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana
statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi
dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi
dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi
Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang
kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan
pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan,
perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa
dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi
masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan
gagasan-gagasan.
2.
Karl R Popper: Kritik terhadap Positivisme Logis[13]
Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan
Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas
positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak
lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan
ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu
pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang
metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka,
dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu
Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar,
untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang
dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis
penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan
berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan
kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak
lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili
fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai
benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa
fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada,
karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan
asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang
dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak
pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.
BAB III
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
1.
Positivisme adalah mengungkapkan
suatu kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya
berjalan.
2.
Pada
dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu – satunya
pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktualfisikal.
Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori
melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis
dihindari
3.
Positivisme merupakan
empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim
karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain
bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
4.
aliran pemikiran dalam
filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan
pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah
[1]
Achmadi,asmoro,2001 filsafat umum, grafindo persada hal 36
[2]
Ibid hal 38
[3]
Anshari,ending saifuddinn,1987,ilmu,filsafat dan agama,yogjakarta,tiara wacana
hal 56
[4]
Ibid hal 57
[5]
Achmadi,asmoro,2001 filsafat umum, grafindo persada hal 40
[6]
Hanafi ahmad,1991, ikhtisar filsafat barat,Jakarta pustaka al-husna hal 96
[7]
Achmadi,asmoro,2001 filsafat umum, grafindo persada hal 42
[8]
Hanafi ahmad,1991, ikhtisar filsafat barat,Jakarta pustaka al-husna hal 96
[9]
Ibid hal 99
[10]
Achmadi,asmoro,2001 filafat umum, grafindo persada hal 45
[11]
Ibid hal 51
[12]
Achmadi,asmoro,2001 filsafat umum, grafindo persada hal 56
[13]
Achmadi,asmoro,2001 filsafat umum, grafindo persada hal 58
0 komentar:
Posting Komentar